Friday, April 20, 2012

Lestarikan Bahasa Bugis di Tanah Arab


 
Menetap puluhan tahun di jazirah Arab, tak menyurutkan keluarga Juweriah meninggalkan bahasa ibunya. Itu terbukti ketika bertemu dengannya, dia masih fasih menggunakan bahasa bugis.
 
Sembari menunggu waktu salat Ashar di Masjid Nabawi, Medinah, di depan tempat mengambil air wudhu seorang nenek menggunakan kursi roda melintas. Nenek tua yang berpakaian hitam tersebut ditemani seorang pria yang mendorong kursi roda serta seorang wanita di sampingnya.

Beragam bahasa yang digunakan jemaah dari sejumlah negara terdengar di area tersebut, tapi sayup-sayup terdengar dialek kental bahasa Bugis. Rupanya sumbernya terdengar dari ketiga jemaah yang melintas tersebut.

Karena penasaran, saya mencoba memberanikan diri untuk menyapa mereka. "Assalamu Alaikum, maaf orang Bugis yah?," tanyaku. Kemudian lelaki yang mendorong kursi roda nenek tua tersebut menjawab, "Waalaikum Mussalam, iya kami asli Bugis, tapi menetap di sini,” jawabnya.

Karena azan telah berkumandang, akhirnya kami berpisah untuk melaksanakan ibadah salat. Namun, sebelum mereka beranjak saya lebih dulu meminta nomor ponsel lelaki tersebut. Dengan harapan saya dapat bertemu dan bercerita panjang tentang perjalanan hidup mereka, mengapa memilih menetap di Arab Saudi.

Setelah menunaikan salat, saya mencoba menghubungi nomor ponsel yang diberikan lelaki itu. Ternyata mereka telah meninggalkan kota Medinah dan kembali ke tempat tinggalnya di Kota Mekah.

Sebelumnya, saya membuat janji untuk bertemu mereka di kota Mekah yang berjarak 498 kilometer dari kota Medinah. Berhubung saya akan menuju kota Mekah untuk menunaikan ibadah umrah dan berziarah ke tempat-tempat bersejarah di kota Nabi itu.

S
etelah tiba di Mekah kami saling berkomunikasi untuk bertemu. Setelah tiga hari berada di kota Mekah, saya dapat kembali bertemu di apartemen milik nenek tua tersebut di kawasan Al Kakiyah, Ash Shawqiyah, Mekah.

Malam itu, kota Mekah diguyur hujan. Dengan menggunakan sebuah mobil buatan Amerika, saya dijemput lelaki yang mendorong nenek tua tersebut ketika bertemu di Masjid Nabawi, Medinah. Lelaki itu bernama, Muhaimin , 32. Dia adalah keponakan dari nenek tua yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Sesampai di apartemen, suasana berubah layaknya berada di Sulawesi Selatan. Nuansa khas Bugis sangat kental di apartemen tersebut. Mulai masuk ke dalam apartemen, saya langsung disambut dengan bahasa Bugis. "Aga tu kareba, Nak?", tanya nenek tersebut sambil mempersilakan masuk.

Dengan terbata-bata, saya menjawabnya "Kareba madeceng,". Suasana pun akhirnya cair setelah kami saling berbincang dengan bahasa Bugis, meski saya tidak terlalu fasih menggunakannya.

Nenek tua tersebut bernama Hj Juwaeria dan sering disapa dengan panggilan Umi. Di usia tiga tahun, Juwaeria sudah menjadi warga Arab Saudi. Juwaeria dibawa oleh orang tuanya yang lebih dulu menetap di Arab Saudi. Ceritanya, kala itu orang tua Juwaeria memilih merantau ke Arab Saudi karena tidak mempunyai ketururan anak laki-laki, dengan harapan di perantauan dapat dianugerahi anak laki-laki.

"Riolo ambo sibawa ind ku lao sompe okko e, na saba ri kampong e, de' na ulle jajian ana urane. Mamuare ri tana Ara' lolongeng anak urane," tuturnya dalam bahasa Bugis.
Namun, apa yang mereka harapkan tak kunjung tercapai. Akhirnya, di usia dini Juwaeria dan saudara-saudara perempuannya yang berjumlah enam orang diboyong ke tanah haram.

Sehingga, mereka sekeluarga menetap di kota Mekah. Orang tua Juwaeria membanting tulang menghidupi keluarganya di perantauan. Ayah Juwaeria bahkan menjadi penjahit kopiah untuk dipasarkan pada musim haji tiba. Selain itu, ayahnya juga menjadi guru ngaji dan berceramah di beberapa masjid di Kota Mekah. Sejarahnya, ternyata orang-orang Bugis banyak merantau ke Arab Saudi menjadi penjahit.

Didampingi Muhaimin, Juwaeria yang lahir di Pulau Salemo, Kabupaten Pangkep, itu  banyak bercerita tentang kisah hidupnya. Sejak 30 tahun lalu, Juwaeria menikah dengan seorang pria yang juga berasal dari Sulawesi Selatan, bernama Husain.

Buah dari pernikahan mereka, lahirlah seorang anak laki-laki yang kemudian mereka beri nama Sabir Bugis. "Ualenggi aseng i monrinna Bugis, mamuare na usseng i tau e, makkeda tau ogi i", jelas Juwaeria sambil memperlihatkan foto-foto pernikahan anak semata wayangnya.

Juwaeria sengaja memberi nama Bugis di belakang nama anaknya, dengan harapan orang bisa langsung tahu kalau anak tersebut adalah keturunan Bugis.
Berkat usaha yang ditekuni dengan penuh keikhlasan, pasangan tersebut mampu mendidik dan menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi di Mekah al-Mukarramah.

Sabir Bugis berhasil menjadi seorang mutawassit atau setingkat guru Sekolah Menengah Pertama (SMP). Gaji yang diperoleh Sabir setiap bulannya bisa mencapai SR20 ribu atau setara dengan Rp50 juta. Sabir juga mempersunting seorang wanita keturunan Bugis di Arab Saudi. Sabir bertemu dengan Fatma dan melangsungkan pernikahan di kota Mekah.

Karena kecintaan terhadap kampung halamannya, Juwaeria mengharuskan anak, menantu bahkan keluarga yang membantunya untuk menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa sehari-hari.
"Indo' ku riolo na ajari ki mabbicara ogi matterru, nasaba narekko bahasa arab, amo de' i pangguru' macca moto matu", tambahnya.

Dari orang tuanya dulu, bahasa Bugis terus dilestarikan. Dengan alasan, melalui pendidikan bahasa Arab pasti dipelajari. Namun bahasa Bugis, jika bukan orang tua yang mengajari, siapa lagi. Kini, keluarga Juwaeriah memiliki empat mobil dan satu unit rumah yang berjarak cukup dekat dari Masjidilharam, Mekah.