Tuesday, July 17, 2012

Riwayat Panjang Coto Makassar


Hanya 3.500 rupiah dan berhadiah motor.
Foto: Ince Dian A.

Liputan bersama citizen reporter Ince Dian Aprilyani Azir dan M. Arief Alfikri tentang Coto Makassar. Sejak tahun 1940-an di kota ini, konon sudah ada usaha warung coto yang ramai, yang hingga kini masih bertahan dan terkenal dengan sebutan Coto Ranggong. Coto yang dimasak dengan tungku tanah liat disebut-sebut sebagai lebih enak.(p!)


Di Makassar, coto dapat ditemui di banyak tempat. Di jalan besar, kawasan pertokoan, kawasan perumahan, pasar, bahkan di gang-gang kecil pun banyak warung yang menjajakan makanan yang selalu disajikan di dalam mangkuk kecil dan disantap bersama ketupat atau nasi. Warung-warung coto di kota yang sedang “dirombak” ini biasanya dimiliki oleh orang Makassar.

Pada umumnya, bahan dasar coto terdiri dari daging sapi, hati, usus, paru yang dimasak dengan bumbu bawang merah, bawang putih, sereh, laos, ketumbar, jintan, garam halus, daun salam, kacang, dan jeruk nipis. Ada pula yang menggunakan daging kuda.

Namun beberapa warung mengolah bahan dasar coto secara beragam. Tergantung dari rahasia dapur masing-masing. Tujuannya agar menciptakan cita rasa yang khas, misalnya melalui alat masak, daging (impor/lokal), bumbu kuah, sambal, dan lainnya.


Daeng Sangkala

Konon, warung coto pertama yang ada di Makassar adalah warung coto milik H. Dg. Sangkala. Warung itu dulunya berada di sudut Jalan Ranggong depan bioskop Istana. Warung coto yang ini tinggal nama tersebut dibangun sekitar tahun 1940-an. H. Dg. Sangkala di masa itu sangat terkenal dimana-mana. Bahkan, beliau dulunya sering diundang oleh beberapa pejabat penting di negara ini. Setiap ada perhelatan besar maka cotonya pun dipesan khusus bahkan mencapai angka ribuan mangkok.

Maka tak heran jika nama H. Dg. Sangkala ini begitu mahsyur di kalangan penjual coto hingga saat ini. Namun, pada tahun 1975, H. Dg. Sangkala yang dua kali menikah tersebut telah menghembuskan nafas terakhirnya. Sayangnya, hanya 2 dari 12 anaknya mengikuti jejaknya merintis coto. Kedua anaknya yang juga merintis usaha coto membuka warung di tempat yang berbeda. Anaknya yang bernama Patahuddin merintis warung coto Paris yang juga masih menggandeng tulisan nama Ayahnya. Begitu juga, anaknya yang bernama Dg. Labbaing yang kini masih setia dengan warung coto Ranggong yang lokasinya berada di Jalan AP. Pettarani.

Menurut Dg. Jumatia, istri dari Dg. Labbaing H. Dg. Sangkala, yang pertama kali membuat bumbu coto adalah H. Dg. Sangkala dan Ayahnya H. Dg. Sangkala bernama Dg. Salli. “Sama-samaki itu Aji (H Dg. Sangkala) dengan Bapaknya bikin bumbu coto. Waktu itu dia ji satu-satunya penjual coto yang ada di Makassar. Baru besar sekali itu warungnya. Banyak sekali juga pekerjanya.”

Beberapa karyawan, keluarga dekat, dan rekan H. Dg. Sangkala yang mendapat rahasia resep coto. Mereka kemudian menggeluti usaha coto dan beberapa yang terbilang sukses.

Warung milik H. Dg. Sangkala ketika itu memang tak ada tandingannya. Maka, tak salah memang jika beliau dan ayahnya dinobatkan sebagai penemu dari masakan khas Makassar yaitu Coto.

Dulunya, ada tiga coto yang ada di daerah Jalan Ranggong. Namun, kini hanya satu warung saja yang masih bertahan. Warung coto itu dimiliki oleh Pieter Tansil yang merupakan warga keturunan Tionghoa. Warung itu berdiri sejak tahun 1960-an. Resep cotonya berasal dari H. Dg. Sangkala.

Di dalam warung terdapat banyak kalender yang terpasang hampir di setiap dinding. Pemasangan kalender tersebut juga dimaksudkan sebagai ajang periklanan beberapa rekan bisnis dari Pieter Tansil dan keluarganya.



Coto Makassar, bukan coto biasa.
Foto: Ince Dian A.

Warung Coto Makassar ini terbilang bukan warung coto biasa. Di dalam warung terdapat foto Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono beserta istrinya yang sedang menyantap coto di warung itu. Warung ini juga ternyata banyak dikunjungi oleh artis dan pejabat lainnya yang tidak sempat diabadikan. Selain itu, para tamu hotel berbintang di Kota Anging Mammiri ini juga sering dirujuk ke warung itu untuk sekadar menyantap coto yang kuahnya berwarna seperti kecap itu. Bahkan, warung yang ini dikelola oleh keluarga dekat Pieter Tansil dan mempekerjakan orang-orang Makassar itu sering dipesan cotonya untuk beberapa hajatan penting di hotel berbintang.

Salah satu warung coto yang terkenal lainnya adalah warung Aroma Coto Gagak. Pemiliknya bernama H. Jamaluddin atau yang akrab disapa Dg. Nassa. Sebelumnya warung ini bernama Lain Tangan, Lain Rasa. ”Kami beri nama Aroma Coto Gagak supaya menandakan kalau aroma coto di warung ini khas. Jadi orang langsung penasaran setelah membacanya dan tertarik untuk singgah makan mencoba bagaimana aroma coto gagak. Begitu!” ucap Dg. Nassa lalu tersenyum.

Dg. Nassa mengakui bahwa ia merupakan keluarga keturunan penjual coto. Ia memulai usaha coto miliknya sejak tahun 1965. Kala itu masih warung kecil-kecilan di Jalan Rajawali. Baru pada tahun 1975, warungnya dipindahkan ke Jalan Gagak. Di sinilah warung tersebut bertahan hingga sekarang.

Meskipun sudah lama, namun warung Aroma Coto Gagak tidak memiliki cabang di tempat lain seperti warung-warung coto pada umumnya. Dg. Nassa dan istrinya memang tidak berniat dan berminat untuk membuka cabang. ”Takutnya nanti ada banyak yang berbeda. Rasanya, pelayanannya, kebersihannya, atau apanyalah”. Sebagai jalan keluar, mereka merekonstruksi bangunannya pada tahun 1998 dan pada tahun 2001 membeli sebuah bangunan kecil tepat di samping warung.

Meskipun tidak mempunyai cabang, nama warung ini sudah dikenal bahkan sampai ke luar negeri, pun lintas benua. “Misalnya ada dosen atau apalah dari Amerika, Jepang, atau Eropa yang datang ke Makassar, pasti mau coba makanan khas Makassar kan? Nah biasanya diajak ke warung ini. Terus kalau sampai di negaranya mereka cerita tentang warung ini. Begitu seterusnya” terang Dg. Nassa penuh bangga.

Selain itu, para artis dan pejabat juga sering mampir bersantap coto di warung ini jika ada kunjungan ke Makassar. Memang, di dinding-dinding hampir setiap ruangan, terpampang foto-foto Dg. Nassa dan istrinya bersama para artis, pejabat, dan kalangan ”bukan orang biasa” lainnya. Foto mereka bersama Syahrul Yasin Limpo, gubernur terpilih Sulsel dipajang di ruangan yang langsung menghadap ke jalan raya. Tak jarang, warung ini juga sering diundang ke beberapa pertemuan. ”Insya Allah, dua minggu depan aji (sapaan orang Makassar kepada orang yang sudah naik haji) mau ke Jakarta, ada undangan untuk menghadiri semacam pertemuan para pedagang dan beliau mewakili penjual coto” ujar Hj. Suharni, istri Dg. Nassa di suatu sore pertengahan Januari 2008.

Selain pajangan foto-foto orang ternama, ada juga selembar serifikat yang dibingkai dan dipasang di dinding ruangan makan bagian luar yang langsung terhubung dengan jalan raya. Sertifikat tersebut dari Depkes (Departeman Kesehatan).

Coto khas Makassar yang namanya juga sesuai lokasi penjualannya berlaku pula pada Coto Pettarani. Tidak sulit untuk menemukan warung makan ini, karena lokasinya berada di salah satu deretan Jalan A.P. Pettarani. Ibu Ahmad adalah pemilik sekaligus pengelola warung tersebut.

Awalnya, wanita berjilbab itu hanya ikut-ikutan menjual coto bersama suaminya. Beliau belajar meracik dan menjual coto dari suaminya yang telah lebih dulu bergelut di dunia coto. Ibu 4 anak inilah yang kemudian meracik bumbu coto yang menjadi kunci eksistensi usaha coto miliknya. Rahasia bumbu dapur coto itu telah dimilikinya selama bertahun-tahun. Ibu Ahmad pun tak mampu lagi menerka kapan persisnya beliau menekuni profesinya sebagai penjual coto. Dulunya, mereka berpindah-pindah tempat menjajakan cotonya. Tapi, sekarang titik Jalan Pettarani telah menjadi tempat usaha yang tetap.

Asal nama warung bukan hanya berdasarkan nama alamatnya, ada juga yang mempunyai sejarah sendiri. Misalnya warung Coto Dewi dan Coto Karaeng.

Coto Dewi beralamat di Jalan Sunu, tepat di seberang Masjid Al-Markaz Al-Islami, masjid yang katanya terbesar di Asia Tenggara. Warung ini asuhan H. Muh. Yusuf yang berasal dari Kabupaten Jeneponto, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang semua warganya bersuku asli Makassar.

Mulanya, usaha coto dirintis oleh salah seorang kerabat terdekatnya. Ia menjual coto di samping bioskop Dewi di Jalan Bulusaraung (sekarang......). Kemudian, usaha cotonya tersebut diteruskan oleh H. Muh. Yusuf sampai sekarang. Itulah mengapa, ia menamakan warungnya Coto Dewi.

Saat ini, Coto Dewi sudah memiliki 3 cabang di tempat yang berbeda, Jalan Perintis Kemerdekaan, Pasar Pannampu, dan Jalan Sultan Alauddin.

Lain halnya dengan Coto Dewi yang diambil dari nama bioskop tua, nama Coto Karaeng diambil dari bahasa asli Makassar dan mengandung sebuah pengharapan.

Secara harfiah, kata Karaeng berasal dari bahasa Makassar yang berarti Raja. Sehingga, Coto Karaeng dipilih dengan doa dan harapan agar bisa menjadi raja dari segala jenis dan tempat makan coto yang ada.

Empu usaha Coto Karaeng bernama Pak Hamzah. Sebelumnya, Pak Hamzah sering bergonta-ganti profesi, mulai dari loper koran hingga menjadi penjual burger.

Namun selama perjalanannya menyusuri warung-warung coto, ia pun melihat peluang usaha yang menjamin. Hal yang paling menonjol yang beliau lihat dari rata-rata pengusaha coto adalah gelar ”Haji” yang disandang. ”Penjual Coto tidak ada yang tidak haji. Memiliki usaha coto, kita bisa meraup untung 100%. Dengan keuntungan sebanyak itu, kita bisa naik haji” tuturnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk banting setir menjadi pengusaha coto, sampai detik ini.

Tidak sedikit warung coto di Makassar yang tak bernama. Warung-warung demikian biasanya hanya memajang nama empunya warung.

Salah satunya yakni warung Coto Makassar yang terletak di antara lokasi pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di sepanjang jalan antara MTC (Makassar Trade Center) Karebosi dengan Pasar Sentral (Makassar Mall), tepatnya di trotoar Jalan Cokroaminoto.

Warung coto milik Pak Kasim ini terbilang sederhana oleh kain lebar yang ditopang dengan bambu atau kayu sebagai pintu, bangku panjang sebagai tempat duduk pelanggan, meja makan yang bertaplakkan plastik, dan ukuran warungnya yang seluas warung-warung makan kaki lima di pasar-pasar tradisional.

Meski demikian, warung tersebut ternyata telah dikelola selama kurang lebih 12 tahun. Awalnya, Pak Kasim belajar mengumpulkan modal dari kegiatan kecilnya mencari nafkah di keluarganya yang memiliki tempat usaha penjualan coto. Dari situlah, beliau mengumpulkan modal dan banyak belajar mengenai usaha coto.

Selain itu, nama warung juga biasa diadopsi dari asal daerah masing-masing empunya warung. Misalnya Coto Makassar, Coto Maros, dan Coto Pangkep.



Ibu Hasnah, pemilik Warung Coto Pangkep.
Foto: Ince Dian A.

Yang Mahal, yang Murah

Setiap warung memasang harga yang berbeda satu sama lain untuk semangkuk coto. Warung coto yang memasang harga yang paling mahal yaitu warung coto di Jalan Ranggong. Butuh selembar uang Rp10.000 untuk bisa mendapatkan semangkuk cotonya.
Warung coto yang terbilang mahal lainnya adalah warung Coto Maros di Jalan Urip Sumoharjo. Di warung yang berdiri sejak 1983 dan belum pernah pindah tempat ini, harga semangkuk coto Rp 8000.

Warung Coto Pettarani dan Aroma Coto Gagak memasang harga yang sedikit lebih murah dibanding Coto Maros. Di kedua warung tersebut, tujuh lembar uang Rp 1000 sudah bisa dibarter dengan semangkuk coto.

Sedangkan warung yang terbilang murah, misalnya Coto Dewi di Jalan Sunu (Rp 6000), dan Coto Makassar di Jalan HOS Cokroaminoto (Rp 5000). Dan yang paling murah adalah Coto Karaeng di Jalan Mappaodang (Rp 3.500).

Semuanya belum termasuk ketupat atau nasi. Jika ingin disantap bersama ketupat, cukup dengan menambahkan Rp 500 atau Rp 1000 untuk sepiring nasi. Ketupat dengan harga Rp1.000 dapat diperoleh di warung coto Makassar di Jalan Ranggong. Tetapi di warung Aroma Coto Pangkep di Jalan Sultan Alauddin ketupatnya gratis. Semangkuk coto plus 3 buah ketupat harganya Rp 5000.

Perbedaan harga tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya karena jenis daging, lokal atau impor. ”Daging lokal itu lebih bagus kualitasnya tetapi ukurannya kecil dan harganya mahal sedangkan daging impor memiliki ukuran yang lebih besar dengan harga yang relatif murah.” ujar Ibu Hasna, pemilik warung Aroma Coto Pangkep. Karena alasan inilah, beberapa warung mencampur daging lokal dengan daging impor.

Salah satunya warung Coto Pettarani. Di warung ini, daging impor biasanya pada hati dan jantung, selebihnya daging lokal. Alasannya sudah jelas, kalau semua dagingnya daging lokal, maka harga coto akan lebih mahal.

“Makanya di sini mahal karena dagingnya semua daging lokal” ujar St. Fatimah, pemilik warung Coto Maros. Hal ini juga berlaku untuk coto yang ada di Jalan Ranggong, dagingnya 100% lokal. Hingga jangan heran jika harga yang dipatok sangat mahal yakni dua lembar uang Rp5.000.

Menurut Hj. Suharni, istri dari pemilik usaha Aroma Coto Gagak, pembeli harus jeli melihat mahal murahnya harga coto. Baginya, yang mahal berarti kualitasnya juga lebih bagus ketimbang yang murah. “Membeli coto sama dengan membeli pakaian. Tentu kita bisa bedakan pakaian mana yang mahal dan pakaian mana yang murah dengan melihat kualitasnya, kan?” Kualitas di sini maksudnya jenis dagingnya, racik bumbunya, komplit tidaknya bahan (paru, hati limpa, dll) yang tersedia, dan alat masak yang digunakan.



Kiri : tungku untuk memasak coto,
Kanan : iming-iming hadiah penarik langganan. Foto: Fikri.

Menyinggung mengenai alat masak, berdasarkan informasi dari Hj. Suharni, coto yang asli adalah Coto Makassar dan yang menggunakan tungku yang terbuat dari tanah liat. Tungku ini digunakan untuk memasak kuah coto. Sedangkan dagingnya dimasak di panci aluminium. ”Kalau pake tungku, pasti ada aroma khasnya dan lebih enak rasanya”. Keunggulan lainnya, kuah coto cepat masak dan panasnya bertahan lama, sekalipun arang yang digunakan untuk memanaskan sudah padam. Tak heran, beberapa warung coto seperti Aroma Coto Gagak, Coto Pettarani, Coto Makassar di Jalan Ranggong, dan Coto Karaeng masih menggunakan panci tanah (tungku).

Tungku yang digunakan di warung Coto Pettarani dan coto Makassar di daerah Ranggong berukuran besar. Bedanya, tungku coto Pettarani diletakkan di atas bara api yang berasal dari tenaga gas. Sedangkan coto Makassar di warung coto Makassar Ranggong 13 menggunakan kayu bangkoa (kayu bakau) untuk memasak cotonya. Kayu bangko ini terbilang sangat langka hingga harganya cukup mahal. Untuk sepotong kayu diperoleh dengan harga Rp10.000. Penggunaan kayu bangko ini juga salah satu faktor mengapa harga coto di Jalan Ranggong itu terbilang sangat mahal.

Meskipun menghasilkan cita rasa coto yang asli, namun harga tungku juga mahal, lebih dari Rp 100 ribu. Selain itu, tungku ini juga mudah pecah. Hj. Suharni mengakui, warungnya sudah berkali-kali ganti tungku.

Perbedaan harga di beberapa warung-warung coto juga dimaksudkan untuk menjadi daya tarik tersendiri untuk sang penikmatnya. Misalnya saja, tulisan ketupat gratis dengan harga coto Rp5.000 yang terpampang jelas di warung Aroma Coto Pangkep.

”Tulisan ketupat gratis yang dapat dilihat di depan warung itu berfungsi ebagai eye catching yang berfungsi untuk menarik daya beli masyarakat” tutur Ibu Hasna, perintis dan pengelola warung itu.

Meskipun, ternyata, ketupat gratis ini hanya berlaku pada 3 biji saja. Tetapi tulisan itu setidaknya mampu membuat konsumennya merasa senang dan ingin membeli coto di warung yang resep cotonya berasal dari Pangkep.

Hal yang lebih menggembirakan turut ditawarkan oleh warung coto Karaeng, yakni dengan mematok harga Rp3.500 saja untuk setiap mangkok cotonya. Harga itu berlaku untuk semua jenis cotonya mulai dari coto hati sampai coto campur. Hamzah, sang Empu warung ini bilang, ”Sekarang orang cari makanan yang murah dan enak.” Itulah yang menjadi landasan penetapan harga di warung yang baru sebulan lebih ini dibuka. Selain itu, umur warung yang masih tergolong sangat muda ini juga bermaksud berpromosi dengan harga coto yang relatif sangat murah. Agar mudah dikenal dan digemari oleh masyarakat penikmat coto.


Siasat Bertahan

Para pemilik warung coto di Makassar pada intinya memiliki cara yang sama dalam mengembangkan serta mempertahankan eksistensi warungnya, yakni menjaga kebersihan dan kesehatan warung juga meningkatkan pelayanan yang memuaskan kepada para pelanggan. Namun mereka menempuh jalur-jalar tersendiri dalam menciptakan kebersihan/kesehatan dan pelayanan memuaskan tersebut.

Warung Aroma Coto Gagak memasang 3 buah alat penangkal lalat yang biasa dipasang di hotel-hotel. Alat-alat tersebut ditempel di dinding. Setiap buahnya disewa seharga Rp 900.000 per tahun. Warung ini menyewanya untuk jangka waktu 4 tahun. Selain itu mereka juga sengaja menempatkan ruangan masak (dapur) dan tempat cuci piring di ruangan terbuka sehingga di ruangan mana pun pelanggannya bersantap, mereka bisa melihat langsung bagaimana para pekerja di warung ini bekerja. ”Kalau ada warung makanan yang tempat cuci piringnya apalagi dapurnya di ruangan tertutup, mungkin ada sesuatu yang disembunyikan” tutur Hj. Suharni.

Suasana warung coto yang bersih dan nyaman juga turut disajikan oleh warung Coto Karaeng. Ruangan di lantai 1 dari 2 lantai rumah telah disulap menjadi warung coto yang didominasi oleh warna kuning. Sistem pembayarannya pun bak di supermarket atau swalayan yang menggunakan mesin penghitung.

Beberapa warung coto juga terus mempertahankan eksistensinya dengan menjaga aroma khas cotonya. Warung-warung itu peduli terhadap bumbu-bumbu racikan untuk menciptakan rasa yang khas agar disukai semua orang. Setiap warung coto mempunyai rahasia dapur tersendiri dalam meracik bumbunya.

Untuk menciptakan pelayanan yang maksimal, di beberapa warung coto tersedia bahan daging apa pun yang pelanggan mau. Misalnya yang terdapat di warung coto Karaeng dan Aroma Coto Gagak. Ada limpa, hati, paru, dan sebagainya. “Di sini pelanggan minta apa pun kami sediakan. Mau campur, mau paru semua, hati semua, apa pun pasti ada” terang Dg. Nassa, pemilik warung Aroma Coto Gagak, penuh semangat di sore hari yang mendung. Selain itu, setiap tahunnya Dg. Nassa juga mengadakan acara buka puasa bersama. “Kalau ada yang kebetulan singgah di hari itu, ya makan gratis. Tapi sejak kami ada rumah, acaranya ya di rumah”.

Khusus di warung coto Karaeng yang dirintis oleh Hamzah yang baru berjalan 10 minggu lebih terus menggencarkan aksi jitunya. Yakni dengan menggelar undian berhadiah bagi setiap pengunjung yang melakukan transaksi sebesar minimal Rp5.000 dan berlaku kelipatannya. Sang Empu terus berjuang melakukan promosi dengan berbagai cara mulai dari stiker tempel yang dipajang di beberapa pete-pete hingga publikasi di surat kabar harian di kota Makassar.

Penggemar coto yang kebetulan membaca iklannya tentu tergoda. Kata-katanya dirangkai secara persuasif hingga mampu menjadi salah satu faktor penarik minat pembeli. Salah satu bunyi stikernya:


Coto Karaeng Coto Rp3.500
Makan Coto Dapat...
Motor Honda Revo
TV 21"
DVD Player
Dispenser
Kipas Angin
Setrika
Jam Dinding

Hadiah-hadiah tersebut diundi setiap bulannya. Selain beberapa deretan hadiah yang ditawarkan, ada juga bonus yang siap diberikan kepada pengunjungnya. Yaitu jika konsumen makan berempat akan diberi bonus satu mangkok coto lagi.

Untuk memaksimalkan pelayanan warung ini melayani konsumennya selama 24 jam. Untuk itu, kata "Lantang Bangngia" juga diikutsertakan untuk memperlihatkan kepada publik bahwa warung coto itu buka selama 24 jam. Kata "Lantang Bangngia" berasal dari bahasa Makassar yang berarti larut malam hingga subuh. "Lantang Bangngia" dipilih dengan pertimbangan untuk menggantikan kata "begadang" yang lazim dipakai untuk tempat usaha yang terus buka selama 24 jam. Tak heran, jika konsumen coto Karaeng terus berdatangan selama 24 jam.

Berbagai upaya untuk terus bertahan yang ditempuh oleh para pemilik warung coto tentunya bertujuan untuk terus memikat hati masyarakat. Rasa khas yang nikmat, pelayanan yang ramah, suasana warung yang bersih dan nyaman, serta harga yang terjangkau akan membuat para penikmatnya ingin terus berkunjung ke warung-warung coto yang ada. Mereka adalah Sang Penikmat Coto yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum, para pelajar, artis, hingga pejabat sekalipun. Banyaknya konsumen yang terus berdatangan tentunya memberi dampak pada besarnya omzet yang diraup oleh Sang Pemilik Warung Coto.

Meski Coto Makassar memiliki penikmat yang sangat banyak di Kota Daeng. Tetapi coto ini sangat sulit untuk bisa go international. Hal itu diungkapkan oleh Syahrial yang merupakan Dosen Tata Boga di Akademi Pariwisata Makassar. Dia menuturkan beberapa alasan mengapa mayoritas orang-orang di luar negeri sana tidak senang menyantap coto. Syahrial bilang “Kebanyakan orang di luar negeri itu kurang suka makan bagian dalam dari sapi karena dianggap sebagai kotoran, tidak ada nutrisi, dan banyak mengandung lemak.” Selain alasan itu, ada kesulitan mendapatkan bumbu-bumbu coto juga merupakan faktor penghambat sulitnya mengelola coto di negeri orang. Bumbu coto itu terdiri dari rempah-rempah yang hanya bisa didapatkan di Indonesia. Sehingga, makanan khas Makassar itu juga tidak begitu dipromosikan di luar negeri.

Bapak yang duduk di posisi bagian Administrasi Akademik program Study Food Production Departement ini menuturkan kandungan nutrisi berupa protein dan lemak dalam semangkuk coto. Banyaknya protein dan lemak yang dikandung oleh semangkuk coto membuat rata-rata penikmatnya disarankan hanya menyantap semangkuk coto dalam seminggu. Hal itu tergantung juga dari kondisi fisik sang penikmat. Pada umumnya, coto itu menyimpan cadangan lemak dan protein yang bisa digunakan oleh tubuh selama seminggu. Kelebihan protein dan lemak dapat menimbulkan timbulnya berbagai macam penyakit diantaranya penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi, obesitas dan sebagainya. Untuk itu, kenalilah asupan makanan yang dibutuhkan oleh tubuh Anda sebelum menyantap suatu makanan termasuk coto.

artikel by :: Ince Dian Aprilyani Azir dan M. Arief Alfikri ::